oleh : Muhammad Chatib Basri (Direktur LPEM-FEUI)
"Jika indikator kinerja makroekonomi baik, kinerja secara mikro juga mestinya baik. Namun, nyatanya kinerja makro baik, di tingkat mikro kita masih babak belur. Apa indikator makro masih ada gunanya?" Inilah pertanyaan yang saya terima dalam face book. Tak salah.
Situasi makroekonomi yang baik, tidak seketika dapat ditransmisikan ke tingkat mikro. Alasannya, ada beberapa hal, yaitu rigidities (kekakuan).
Pasar tidak bisa melakukan penyesuaian seketika. Ekonom Mankiw pernah menulis tentang menu cost.
Situasi makroekonomi yang baik, tidak seketika dapat ditransmisikan ke tingkat mikro. Alasannya, ada beberapa hal, yaitu rigidities (kekakuan).
Pasar tidak bisa melakukan penyesuaian seketika. Ekonom Mankiw pernah menulis tentang menu cost.
Intinya sederhana, harga bisa naik-turun, tetapi harga di menu yang kita lihat di rumah makan, tidak bisa mengikuti naik-turunnya harga makanan. Penyesuaian hanya dilakukan sewaktu-waktu. Alasannya, ada biaya untuk mengubah menu.
Hal lain adalah likuiditas. Pelaku ekonomi mungkin memiliki kendala dalam membelanjakan uangnya seketika, sehingga respons di tingkat mikro tidak selalu sejalan dengan pendapatan jangka panjang.
Hal lain adalah likuiditas. Pelaku ekonomi mungkin memiliki kendala dalam membelanjakan uangnya seketika, sehingga respons di tingkat mikro tidak selalu sejalan dengan pendapatan jangka panjang.
Selain itu, tentu informasi dan ekspektasi.
Informasi yang tidak simetris antara satu pelaku ekonomi dan pelaku lain membuat respons pasar tidak sepenuhnya sempurna. Hal-hal inilah yang kemudian menimbulkan kesenjangan antara kinerja di tingkat makro dan mikro.
Namun, itu bukan berarti indikator makro menjadi tidak penting. Sejarah mengajarkan kepada kita, pada 2005 ketika situasi makro terganggu akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang tajam, kinerja di sektor mikro terpukul.
Sangat penting
Sebaliknya, pada 2006 dan 2007, ketika situasi makro mulai membaik, kita melihat laporan keuangan perusahaan publik menunjukkan kinerja yang baik pula. Pendeknya, situasi makro yang baik membutuhkan waktu untuk memperbaiki situasi di tingkat mikro, tetapi situasi makro yang buruk, jelas akan memukul kinerja di tingkat mikro.
Macroeconomic stability is not everything, but without macroeconomic stability is nothing. Itulah sebabnya indikator makro menjadi sangat penting, termasuk perubahan asumsi makro dari APBN 2009 yang dibuat pemerintah.
Minggu lalu, kita mengikuti diskusi mengenai rencana pemerintah mengubah asumsi dan postur APBN 2009. Perlukah itu dilakukan? Apa yang perlu direvisi?
Untuk menjawabnya, mungkin ada beberapa hal yang perlu dibahas. Pertama, asumsi pertumbuhan. Pemerintah mengubah asumsi pertumbuhan ekonomi dari 6% menjadi 4,5-5,5% dengan titik tengah 5%.
Situasi global yang terjadi sedikit banyak mulai terasa pengaruhnya di Indonesia. Melalui trade channel, kita sudah melihat pertumbuhan ekspor pada Oktober ke November mengalami pertumbuhan minus 11% untuk total ekspor, dan minus 9,2% untuk ekspor nonmigas.
Pola ini bisa terjadi pada 2009. Artinya, pada 2009 kita tidak bisa mengharapkan mesin pertumbuhan yang berasal dari ekspor.
Bagaimana dengan investasi? Ekspor yang melambat membawa pengaruh terhadap melambatnya impor, terutama bahan baku dan barang modal. Perlambatan impor bahan baku dan barang modal akan membuat investasi juga mengalami perlambatan.
Di sisi lain, risiko dari sektor riil yang meningkat, mengakibatkan timbulnya problem agency cost, di mana perbankan menjadi enggan menyalurkan kreditnya, karena kekhawatiran meningkatnya kredit macet. Oleh karena itu, partumbuhan kredit mungkin tidak akan setinggi pada 2008. Implikasinya, investasi domestik akan mengalami perlambatan.
Investasi asing, baik langsung maupun portofolio, dengan situasi deleveraging yang terjadi di negara maju, tampaknya akan mengalami kesulitan. Dari sisi ini, kita tidak bisa mengharapkan investasi akan tumbuh setinggi pada 2007 atau 2008. Artinya, dua mesin utama, yaitu ekspor dan investasi, akan melambat.
Dengan kondisi ini, sumber pertumbuhan akan bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah. Secara logis, agar APBN 2008 kredibel, asumsi pertumbuhan ekonomi harus direvisi.
Jika pemerintah dapat menjaga konsumsi rumah tangga sebesar 5% dan pertumbuhan pengeluaran pemerintah di atas 13%, pertumbuhan ekonomi akan berada pada kisaran 4,5%-5,5%.
Kedua, harga minyak mentah dunia, inflasi, tingkat bunga, dan nilai tukar. Melemahnya harga komoditas di pasar dunia, termasuk harga minyak mentah, tentu berpengaruh terhadap inflasi.
Harga minyak mentah dunia bertengger pada kisaran US$45 per barel. Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam 2 bulan terakhir ini, dengan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), sedikit banyak akan berpengaruh terhadap inflasi.
Penurunan harga premium dan solar ke posisi Rp4.500 per liter dapat membantu menurunkan inflasi sekitar 0,4%.
Dengan demikian, tekanan inflasi tampaknya bisa menurun pada 2009 yang kemudian dapat diikuti oleh penurunan tingkat bunga.
Dalam 2009, inflasi diperkirakan pada kisaran 5%-7% dan rata-rata tingkat bunga SBI sekitar 7,5%. Bagaimana nilai tukar?
Nilai tukar tampaknya sudah memasuki tingkat keseimbangan baru. Dalam beberapa bulan terakhir ini, pergerakan rupiah praktis berada pada kisaran Rp10.700-Rp11.500 per dolar AS. Penurunan bunga dari 9,25% ke 8,75% juga tidak berpengaruh banyak terhadap rupiah.
Dengan gambaran ini, saya pikir cukup realistis jika pemerintah mengasumsikan nilai tukar rupiah pada kisaran Rp11.000 per dolar AS.
Ketiga, dampak pada postur APBN 2009. Melambatnya pertumbuhan ekonomi, perubahan nilai tukar, dan harga minyak mentah dunia jelas akan berpengaruh terhadap postur APBN.
Dari sisi penerimaan, perlambatan pertumbuhan ekonomi berakibat menurunnya penerimaan pajak penghasilan dan PPN. Dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), penurunan harga komoditas tentu berpengaruh terhadap PNBP.
Penerimaan BUMN juga akan terpengaruh dengan situasi global ini. Akibatnya, dari sisi penerimaan. Untuk meminimalisasi dampak krisis keuangan global, pemerintah memberikan stimulus. Salah satu yang diberikan adalah subsidi pajak untuk PPh pasal 21.
Selain itu, untuk memberikan stimulus, pemerintah juga menurunkan tarif pajak penghasilan individual dari 35% menjadi 30%, selain penurunan pajak penghasilan badan dari 30% menjadi 28%. Hal ini tentu berpengaruh terhadap penerimaan pemerintah.
Dari sisi pengeluaran, menurunnya harga minyak mentah dunia tentu berpengaruh terhadap menurunnya beban subsidi BBM.
Namun, untuk meminimalisasi dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia, diperlukan stimulus, terutama kepada kelompok yang memiliki marginal propensity to consume yang tinggi. Ini adalah kelompok menengah bawah.
Stimulus dalam bentuk belanja ini, khususnya untuk infrastruktur dan program padat karya, sangat dibutuhkan, karena ini yang akan mendorong perekonomian. Akibatnya, kebutuhan belanja masih besar.
Penurunan belanja bisa saja terjadi, tetapi penurunannya praktis tidak sebesar di sisi penerimaan. Akibatnya, defisit meningkat menjadi 2,5% dari PDB.
Peningkatan defisit ini merupakan kombinasi dari penurunan penerimaan pemerintah dan stimulus fiskal. Di sini soal pembiayaan menjadi penting.
Sebagian dari belanja pemerintah mungkin bisa menggunakan Silpa tahun 2008. Namun, sebagian lagi harus mencari sumber pembiayaan baru.
Di sini sumber dari pasar keuangan melalui penerbitan obligasi pemerintah dalam dan luar negeri perlu dilakukan. Persoalannya, apakah pasar punya kemampuan menyerap dalam kondisi krisis keuangan seperti ini?
Bank Dunia lagi
Oleh karena itu, saya pikir bijaksana jika pemerintah mengoptimalkan sumber pembiayaan non-market, seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, dan bilateral seperti Jepang dan Australia.
Dengan kombinasi ini, defisit tersebut dapat ditutupi dan stimulus fiskal bisa diimplementasikan.
Saya ingat, dalam pertemuan G-20 di Washington, pada November 2008, secara khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya mengusulkan agar lembaga internasional dapat menyediakan dukungan anggaran agar negara berkembang tetap dapat melakukan counter cyclical policy guna mempertahankan pertumbuhannya.
Kepala Negara mengusulkan sebuah format yang disebut Global Expenditure Support Fund. Bila ide ini bisa diadopsi, saya pikir, negara berkembang, termasuk Indonesia, dapat terus menjalankan program pengentasan kemiskinan, kesehatan, dan infrastruktur, sehingga penduduk miskin dapat terlindungi, walau krisis keuangan menerpa dunia.
Asumsi makro dan postur anggaran memang perlu diubah untuk membuatnya menjadi kredibel dan stimulus ekonomi bisa diimplementasikan. Dengan postur seperti ini, ekspektasi bisa lebih dijaga.
bisnis.comURL : http://web.bisnis.com/artikel/2id1914.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar